
Wow, kereta lain, tatkala Hayati pacar Zainuddin naik kereta di Stasiun Padang Panjang dalam novel ‘Tenggelamnya Kapal van Der Wijk’. Dan, jika tidak ada aral melintang, hari ini lima kereta baru diresmikan oleh Menteri Perhubungan RI, Jusman Safii Jamal. Kegiatan peresmian dipusatkan di Stasiun Kereta Api Simpang Haru, Padang.
Lima kereta (bukan gerbong) baru senilai Rp18 miliar itu didatangkan dari Surabaya dengan perjalanan ke Padang memakan waktu satu minggu melalui pelayaran. Ini adalah awal kebangkitan kembali perkeretaapian Sumatra Barat. Kereta api itu akan dijadikan sebagai penunjang pariwisata di Sumatra Barat, sekaligus untuk membuktikan bahwa di Sumbar ini dulunya kereta api menjadi sarana angkutan masyarakat dan barang.
Dengan kedatangan rangkaian kereta api baru itu muncul berbagai pertanyaan. Ibarat seorang anak yang baru lahir, tentulah punya nama. Karena itu, melalui Masyarakat Pencinta Kereta Api Sumbar (MPKAS) serta masyarakat secara keseluruhan muncul berbagai ide nama, di antaranya Lembah Anai, Merapi Singgalang, Sibinuang, Tri Arga, Kinantan, Langkisau, Gumarang dan lain sebagainya. Bahkan, ada pula yang beride untuk melengketkan nama tokoh yang menggagas kebangkitan kereta api itu. Khusus untuk nama ‘Gumarang’ telah dipakai oleh kereta api yang ada di Jawa, sehingga tidak memungkinkan lagi dipakai. Dari pusat telah ada sinyal supaya tidak memakai nama yang telah dilengketkan pada kereta api di daerah lain.
Justru itu, bisik-bisik awal dari rumah bagonjong (kantor gubernur, Red) timbul ide untuk melengketkan nama ‘Langkisau’ pada kereta api baru tersebut. Kontan saja, wacana itu cepat berkembang di dunia maya. Melalui rantauNet yang menjadi tempat diskusi dan tukar pikiran komunitas orang Minang di berbagai penjuru dunia, muncul reaksi atau semacam keberatan atas nama itu. Tentu saja ini punya argumen. Maka bersileweranlah tanggapan atas nama tersebut.
Rata-rata, komunitas dunia mayanya orang Minang itu beranggapan kata ‘langkisau’ mempunyai makna yang kurang patut untuk dilengketkan pada transportasi semacam kereta api, walaupun ada nama tempat di Painan dengan kata itu, yakni Bukik Langkisau. Masyarakat rantauNet yang memberikan pandangan atau saran berpendapat bahwa ‘langkisau’ identik dengan angin kencang yang berputar-putar. Angin tersebut kadangkala membawa celaka. Bahkan, ada di antara komunitas dunia maya itu yang mengutipkan sejumlah arti kata ‘langkisau’ lengkap dari kamus atau literatur yang mereka punya.
Di tengah bersileweran pendapat tentang nama itu, muncullah ‘Dang Tuanku’. Rata-rata masyarakat dan komunitas rantau tersebut setuju, dibandingkan dengan istilah ‘langkisau’. Karena ini adalah menyangkut nama dan efek di kemudian hari.
“Tidak baik untuk nama kereta api yang kita harapkan aman dari segala hal-hal yang kurang baik. Sekiranya malang atau terjadi hal-hal yang tidak kita ingini, jangan sampai kita menyesal hanya karena memberikan nama asal-asalan,” begitu komentar salah seorang komunitas rantauNet, Sjamsir Sjarif. Memang, ibarat memberi nama seorang anak, diharapkan mempunyai makna tersendiri. Jangan hanya karena ingin dipandang modern, diberi nama anak kebarat-baratan, namun maknanya tak jelas. Pun sebaliknya, ingin terkesan sebagai keluarga muslim sejati, diberi nama anak asal bahasa Arab saja, seumpama Jahannam dan lain sebagainya.
Nah, agaknya nama Dang Tuanku itu sekali lagi lebih pas ketimbang langkisau. Karena mempunyai nilai historis di Minangkabau. Namun di balik itu, barangkali ada nama yang lebih pas lagi, agaknya perlu bersama-sama mencarinya. Yang penting punya makna, punya nilai historis, kebesaran dan lain sebagainya di ranah ini. Oleh Sawir Pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar